Berdasarkan cerita rakyat desa Bendilwungu mulai dibuka atau dibabad sekitar pertengahan abad ke 18, yang pada masa itu dibawah pemerintahan Kerajaan Yogyakarta pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V, sedang Kabupaten Tulungagung pada masa pemerintahan Bupati II R.M.T Djayaningrat yang masih bernama Kabupaten Ngrowo.
Seiring dengan kekalahan Pangeran Diponegoro 1830, maka banyak pengikutnya yang melarikan diri ke timur, baik pengikut dari Tegal, Yogyakarta, Wonogiri, Pacitan dan Ponorogo. Terbukti dari narasumber orang tua di desa Bendilwungu menyatakan yang babad desa itu adalah orang dari Yogyakarta dan yang paling banyak Pacitan – Ponorogo. Jadi dapat disimpulkan desa Bendilwungu dimulai sekitar tahun 1830 M.
Sebelum Desa Bendilwungu berdiri sendiri, semula ada empat dukuhan yang kemudian bergabung membentuk desa Bendilwungu, 4 (empat) dukuh yaitu :
- Dukuh Kundi
Yang diambil dari nama seorang pengrajin tanah liat yang bernama Kundi, maka tempat tersebut dan sekitarnya diberi nama dukuh Kundi.
- Dukuh Sempu
Yang diambil dari nama pohon sempu, karena daerah tersebut pada waktu dibabad hanya terdapat pohon sempu atau dengan kata lain didominasi oleh pohon sempu.
- Dukuh Sentul
Yang diambil dari nama pohon sentul, karena daerah tersebut pada waktu dibabad banyak pohon sentulnya, yang konon pohon tersebut dibuat tempat peribadatan seperti surau, yang sering disebut dengan langgar. Namun dalam perkembangan pada waktu saat ini langgar tersebut sudah mendjadi masjid yang besar dan megah.
- Dukuh Bendilwungu
Yang semula bernama kendil-wungu ini diambil dari nama alat memasak pada waktu itu yang terbuat dari tanah liat yaitu kendil dan nama pohonnya yaitu kayu wungu. Sebab menurut cerita, orang yang babat dukuh bendilwungu ini acap kali selesai memasak maka kendil tersebut diletakkan di bawah pohon wungu. Jadi nama Bendilwungu diambil dari dukuhan Kendilwungu yang telah disempurnakan menjadi Bendilwungu hingga sekarang
Seiring dengan perkembangan desa Bendilwungu telah mengalami beberapa masa kepemimpinan, yaitu:
- Demang Martodikromo 1857 – 1878
- Bagong 1879 – 1894
- Djokromo 1895 – 1897
- Kromokarso 1898 – 1915
- Kadim (H. M Umar) 1915 – 1947
- Djapar 1947 – 1966
- Ngisom 1969 – 1971
- Mrakeh 1972 – 1988
- Supangadi 1989 – 2006
- Mohamad Soleh 2007 – sekarang